Hakikat Puasa
Oleh : Lilik
Murodi.S.Sy
Hakikat Puasa dan Bertemu dengan
Allah
“Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal
ia sedang berpuasa. Nabi saw, segera memanggilnya. Lalu Beliau menyuguhkan
makanan seraya berkata, “Makanlah hidangan ini “. Keruan saja wanita itu
menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa”. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil
mencaci-maki hamba sahayamu ?”. Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai
penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan.
Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang lapar”.
(HR Bukhari)
Dengan
hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ingin mengingatkan
kaum Muslim hakikat puasa yang sebenarnya.
Istilah
shaum bersumber dari bahasa Arab yang artinya, menahan, mengekang atau
mengendalikan (al-imsak).
Secara
syariat (fikih), makna puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat
membatalkan mulai terbitnya fajar shubuh hingga terbenamnya matahari yang
disertai dengan niat.
Puasa
terdiri dari tiga tingkatan.
Puasa perut, tingkatan paling awal adalah puasa
yang memenuhi syariat, yakni puasa muslim pada umumnya.
Puasa hawa
nafsu, tingkatan
selanjutnya setelah puasa perut, puasa sesauai syariat yang diikuti dengan
menahan hawa nafsu.
“Apabila
engkau berpuasa hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan
mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu atau setiap panca inderamu”
(al Hadits).
Puasa qalbu, tingkatan tertinggi setelah puasa
hawa nafsu, puasa yang diikuti dengan menahan dari segala kecenderungan yang
rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkann diri dari segala
sesuatu selain Allah.
Keadaan
sadar(kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah
(dzikrulllah) inilah kunci dari Taqwa
Sayidina Ali
bin Abi Thalib ra mengatakan “Puasa Qalbu adalah menahan diri dari segala
pikiran dan perasaan yang menyebabkan terjatuh pada dosa”.
Bertemu
Allah
“Bagi
orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan
kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Sebagian
muslim memahami bahwa yang dimaksud dengan hadits ini adalah dengan amal
puasa kita dapat bertemu dengan Allah di akhirat kelak.
Benar, bahwa
dengan amal puasa dan amal-amal lainnya yang menunjukkan tingkat ketaqwaan
seorang muslim yang dapat menghantarkan pada kenikmatan tertinggi dari semua
kenikmatan yang ada di surga adalah melihat (bertemu) Allah..
Bahkan bagi
mereka yang berpuasa, telah tersedia pintu khusus untuk mereka
Dari Sahl
dari Nabi bersabda : Sesungguhnya dalam surga terdapat sebuah pintu yang
bernama Ar Rayyan, orang-orang yang berpuasa akan masuk melaluinya pada hari
kiamat, dan selain mereka tidak akan masuk melaluinya. ….(Hadist riwayat
Bukhari dan Muslim)
Namun
sesungguhnya kegembiraan berpuasa, bertemu dengan Allah dapat juga kita rasakan
atau kita alami saat kita di dunia.
Mereka yang
merasakan bertemu Allah di dunia adalah mereka yang gemar mengadukan
segala macam persoalan kehidupannya di dunia ke hadapan Allah. Mereka yang
dengan sesungguhnya mengatakan bahwa,
“…..
hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS Al Fatihah [1] :
5 )
Mereka-mereka
yang gembira dilihat Allah Azza wa Jalla.
Mereka-mereka
yang gembira bertemu dengan Allah Azza wa Jalla di dunia.
Sebagian
muslim belum mengimani bahwa kita dapat bertemu dengan Allah Azza wa Jalla di
dunia walaupun kita tidak dapat melihatNya.
Sebagian
muslim belum mengimani bertemu dengan Allah Azza wa Jalla di dunia karena
kesalahpahaman memahami firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu, dan Dia-lah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” [QS
Al-An’aam: 103]
Allah
Subhanahu wa Ta’ala pernah berfirman kepada Nabi Musa Alaihissalam
“Kamu sekali-kali tidak dapat melihat-Ku.” [QS Al-A’raaf: 143]
“Kamu sekali-kali tidak dapat melihat-Ku.” [QS Al-A’raaf: 143]
Demikian
juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia” (HR Muslim)
“Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia” (HR Muslim)
Juga
pernyataan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata.
“Barangsiapa menyangka bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya, maka orang itu telah melakukan kebohongan yang besar atas Nama Allah.” (Muslim)
“Barangsiapa menyangka bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya, maka orang itu telah melakukan kebohongan yang besar atas Nama Allah.” (Muslim)
Firman-firman
Allah dan hadits diatas adalah petunjuk bahwa Allah tidak dapat kita lihat di
dunia dengan mata kepala (secara dzahir / lahiriah).
Namun kita
dapat menghadap kepada Allah, bersama Allah, bertemu Allah, berlari
kepada Allah (Fafirruu Ilallah) ketika di dunia walaupun kita di dunia
tidak dapat melihatNya.
Sebagai
contoh bahwa kita menghadap Allah, bertemu Allah ketika di dunia adalah
mendirikan sholat
Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi’rajul
Mu’minin , “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“.
Yaitu
naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju
ke hadirat Allah Azza wa Jalla.
Sebagian
muslim tidak menyadari bahwa mereka menghadap Allah Azza wa Jalla, bertemu
Allah Azza wa Jalla di dunia. Mereka beribadah (menyembah Allah) tanpa
merasakan menghadap ke hadhirat Allah.
Sebagian
muslim di dunia bahkan “menghindari” menghadap Allah Azza wa Jalla atau
“menghindari” bertemu dengan Allah Azza wa Jalla, seolah-olah mereka dapat
tidak terlihat oleh Allah Azza wa Jalla di dunia padahal Allah Maha
Melihat dan Maha Mengetahui.
Maka
kerugian besar bagi muslim yang belum dapat merasakan seolah-olah melihat Allah
Azza wa Jalla di dunia, bertemu Allah Azza wa Jalla, bersama dengan Allah
ketika di dunia.
“Iman
paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu
dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Mereka
secara tidak disadari mengingkari apa yang mereka ucapkan bahwa
“Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS Al Fatihah : 1)
Sesungguhnya,
“dengan menyebut nama Allah” itu adalah “dengan dzatNya”, bersama Allah,
bertemu Allah, berlari kepada Allah (Fafirruu Ilallah).
Jadi, muslim
yang berpuasa dan dapat mengalami, merasakan kegembiraan bertemu dengan Allah
di dunia dan mengharapkan tetap bertemu dengan Allah di akhirat kelak
adalah mereka yang telah menjalankan puasa qalbu. Selama mereka berpuasa mereka
melakukan secara sadar dan mengingat Allah. Mereka bersama Allah.
“Buatlah
perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badanmu telanjang,
mudah-mudah an qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini (HR Bukhari).
0 comments:
Post a Comment